Bunuh Diri
15 Jan
BADROWI hendak bunuh diri. Sudah
berkali-kali dicobanya. Sekali, hendak diputusnya kontrak kehidupan pada seutas
tali. Sayangnya, dahan yang disangkanya liat tak kuasa menahan tubuhnya. Dahan
itu patah menjadi dua. Lain waktu Badrowi meminum baygon. Ketika cairan
mematikan itu telah mulus melewati kerongkongannya, istrinya memergoki.
Istrinya histeris dan berteriak-teriak macam orang gila. Sambil menangis
istrinya menelepon Rumah Sakit. Tak berapa lama, raungan ambulans membelah
malam. Supir ambulans yang gila kecepatan, berusaha mengejar nyawa Badrowi yang
sudah sampai di leher.
Sayang
seribu sayang, Dokter terbaik di Rumah Sakit itu belum pulang meski malam telah
larut. Dokter yang berdedikasi itu sekuat tenaga bernegosiasi dengan Malaikat
Izrail memperebutkan nyawa Badrowi. Dokter itu berhasil. Badrowi muntah-muntah.
Semua cairan mematikan itu keluar sudah.
Badrowi
harus menerima kenyataan bahwa usahanya belum membuahkan hasil. Badrowi mulai
percaya nyawanya rangkap tujuh layaknya kucing. Nahasnya, Badrowi jeri melihat
darah yang mengucur. Apalagi bila darah itu keluar dari tubuhnya. Badrowi
takut. Maka, tak heran, usaha yang melibatkan benda tajam yang nyata bisa
membuat darahnya mengucur, amat sangat dihindari oleh Badrowi.
Akhir-akhir ini Badrowi sibuk. Menonton berita kriminal di televisi dan membaca
koran menjadi jadwal rutin. Bukankah selalu ada berita tentang kehidupan yang
berakhir di tayangan televisi dan lembar koran? Badrowi butuh inspirasi.
Badrowi menghitung dalam hati: berapa kali sudah dicobanya usaha ini? Badrowi
menentramkan hati dan tidak berputus asa. Setidaknya, jika benar keajaiban
nyawa rangkap tujuh itu menempel padanya, Badrowi tinggal mencoba sekali lagi!
Tapi itu
kian sulit. Sungguh! Sekarang ini, setiap orang siaga. Istrinya, anak-anaknya,
kerabat istrinya yang bernama Bi Markonah itu, bahkan para tetangganya.
Semuanya waspada. Istrinya sudah tak mengizinkannya mengendarai sepeda motor.
Kuncinya sengaja disimpan rapat-rapat dan tak seorang pun yang mau memberitahu
di mana kunci itu disimpan. Bagi Badrowi itu memang masuk akal dan bisa
dimengerti. Jalanan di Indonesia lebih kusut daripada benang basah yang ruwet.
Semahir apa pun pemakai jalan di Indonesia, sangat mudah tertimpa kecelakaan.
Kalau tidak menabrak ya ditabrak….
Yang membuat
Badrowi jengkel, orang-orang tidak memberinya kesempatan untuk menyendiri.
Begitu Badrowi masuk ke kamar mandi, keluarganya langsung heboh. Bila dalam
waktu lima menit Badrowi tidak keluar dari kamar mandi, mereka menggedor-gedor
pintu. Bi Markonah mengancam akan mendobrak pintu kalau pintunya tidak segera
dibuka. Semakin lama mereka seperti mata-mata!
Cih! Tahu
apa mereka? Badrowi memang ingin mati. Tapi, mati di kamar mandi? Itu sungguh
bukan pilihan bagi Badrowi. Kamar mandi itu tempat tinggal kecoak dan Badrowi
benci sekali binatang bernama kecoak.
Badrowi
menyadari bahwa kini dia mempunyai dua tantangan yaitu berusaha melepaskan diri
dari intaian mata-mata, dan terus mancari cara untuk memecat nyawanya agar tak
lagi menghuni raga. Badrowi memutuskan untuk menjadi lebih kreatif. Untuk itu,
Badrowi memasukkan menu menonton sinetron! Banyak sekali tips dan intrik yang
bisa Badrowi temukan dalam tayangan sinetron.
***
HARI masih
pagi. Seperti biasa, rumah itu tampak sibuk. Anaknya yang pertama
berteriak-teriak mencari kaus kaki, sebentar kemudian suaranya bungkam dan
terdengar raungan GL-Pro menjauh. Terdengar suara Bi Markonah menyuruh anak
kedua dan ketiganya sarapan. Istrinya, telah rapi dengan baju PNS, masuk ke
kamar dan meletakkan sepiring nasi goreng di atas meja.
“Dokter
Munawir akan datang menengok sampean, nanti jam 9,” kata istrinya pelan.
“Cih!
Psikiater sok tahu itu? Yang menyangka aku sakit jiwa?! Yang merasa sudah mampu
mengorek kebenaran dariku? Ahoi, jauh panggang dari api. Uang saja yang
dikejarnya!” umpat Badrowi dalam hati. Badrowi melarikan pandang keluar
jendela. Badrowi enggan menatap istrinya.
“Aku
berangkat dulu, ya…,” pamit istrinya sambil mencium punggung tangannya sekilas.
“Jangan lupa nasi gorengnya dimakan….”
Badrowi
acuh. Istrinya berlalu dan menutup pintu pelan. Begitu Supra Fit istrinya
menjauhi garasi bersama celoteh riang anak kedua dan ketiga, Badrowi beringsut
ke jendela. “Yah, batu itu masih di sana. Tangga itu juga masih berada di
tempatnya,” batin Badrowi sambil tersenyum puas. Sejauh ini semua berjalan
sesuai rencana! Badrowi akan meluncur bebas dari atas pohon dan membenturkan
diri ke atas batu. Itu rencana hebat!
Badrowi
melirik arloji yang tergeletak di atas meja. Pukul tujuh lima belas menit.
Buru-buru Badrowi duduk di tepi tempat tidur. Diraihnya sepiring nasi goreng
yang sedari tadi menghuni meja. Badrowi bersikap sebiasa mungkin. Jangan
membuat curiga! Sebentar lagi, pasti Bi Minah akan membuka pintu untuk melihat
keadaannya. Tidak menghabiskan sarapan, akan menjadi masalah besar. Nah, benar
saja! Pintu kamar terkuak tanpa permisi. Wajah Bi Markonah yang tampak selalu
sedih seperti buldog itu melongok ke dalam kamar. Sedetik. Kemudian terdengar
langkahnya menjauh. Bi Markonah memang tak terlalu suka bicara pada Badrowi.
Begitu juga sebaliknya. Bi Markonah menganggap Badrowi itu sinting.
Badrowi
bersiul-siul. Terdengar pintu depan dibuka dan ditutup kembali. Bi Markonah
akan pergi berbelanja ke pasar. Biasanya Bi Markonah pergi selama satu jam. Dan
selama wanita itu pergi, Rokim, anak tetangga sebelah yang akan memata-matainya.
Badrowi menyibak korden kamar untuk melihat keluar. Dari ambang jendela,
Badrowi melihat Bi Markonah tengah berbicara kepada Rokim. Bi Markonah
menyerahkan selembar uang ke tangan Rokim yang langsung disambut gembira. Rokim
berlari riang menuju ke pintu rumah. Tuh, kan?
Terdengar
pintu dibuka dari luar.
Badrowi
segera menyambutnya. “Kamu sebaiknya nonton tv saja. Hari ini aku akan
berbaring di kamar….” usul Badrowi sambil mengulurkan remote ke tangan Rokim.
Rokim kikuk.
Dengan wajah takut-takut Rokim bertanya, “Maaf, Pak. Sebelum saya menonton
televisi seperti yang Bapak suruh, bolehkah saya masuk ke kamar Bapak terlebih
dahulu?”
“Untuk
apa?!” bentak Badrowi tidak suka.
“Mm… mencari
mainan saya, Pak. Sepertinya tertinggal di kamar Bapak kemarin…,” Rokim berkata
pelan dan sedikit gemetar. Rokim takut Badrowi akan menyakitinya. Bagaimanapun,
Badrowi tega menyakiti dirinya sendiri. Bukankah besar kemungkinan Badrowi juga
setega itu pada orang lain?
“Baiklah.
Tapi jangan lama-lama!” Badrowi bersungut-sungut. Hatinya sungguh tak senang.
Dengan
takut-takut Rokim masuk ke kamar Badrowi. Rokim memeriksa tiap sudut kamar, di
bawah tempat tidur, bawah meja dan almari, di bawah kasur. Semuanya. Tentu saja
tidak ada mainan yang dicarinya. Rokim mencari botol, gelas kaca, pisau atau
benda apa saja yang sekiranya diselundupkan Badrowi untuk melancarkan aksinya.
Rokim tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Rokim tersenyum puas sambil
melangkah keluar kamar.
“Lho, mana
mainanmu?” bentak Badrowi.
Rokim plintat
plintut. “Oh, saya baru ingat kalau mainan saya dipinjam teman….”
“Huh, dasar
lidah manusia!” umpat Badrowi sambil masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya.
Badrowi
mengintip melalui lubang kunci. Aman. Rokim pergi ke kamar mandi. Hanya
sebentar, setelah itu Rokim asyik menonton televisi. Badrowi hendak menyelinap
keluar lewat jendela. Tapi… oh… Badrowi merasa ingin buang air kecil. “Ah… tak
mengapa, ini kan buang air kecil yang terakhir…,” hibur Badrowi dalam hati.
Ketika
Badrowi lewat, Rokim waspada. Rokim melirik jam dinding untuk memastikan
Badrowi tidak terlalu lama di kamar mandi. Pintu kamar mandi terbuka. Badrowi
segera melangkah masuk, tak disadarinya busa sabun tersebar di lantai. Badrowi
terpeleset, tubuhnya kehilangan keseimbangan.
“Aaaaaahhh!!!!”
Kepala Badrowi terbentur pinggiran bak. Darah mengucur. Badrowi jatuh
terjerembab. Tubuhnya terlentang di lantai kamar mandi. Badrowi berusaha
menggerakkan kepala, dan terlihat olehnya beberapa ekor kecoak berlari menjauh.
Lantai kamar mandi memerah darah, membawa Badrowi ke rasa sakit yang menggila
hingga gelap menghimpit!
***
AWALNYA,
hidup Badrowi sempurna. Istrinya cantik dan sudah diangkat menjadi PNS.
Istrinya seorang guru di sebuah SMP Negeri. Ketika SK turun dan mengharuskan
istrinya pindah ke Kota Semarang, Badrowi rela meninggalkan pekerjaannya.
Padahal saat itu posisi Badrowi di perusahaan itu sudah terbilang lumayan.
Ketika itu, anak pertama mereka baru berusia tiga tahun. Di kota baru, Badrowi
mencari pekerjaan. Namun, belum genap sebulan Badrowi bekerja, didapatinya sang
istri menangis. “Pak, janganlah bekerja dulu. Rumah dan anak-anak telantar
kalau kita berdua bekerja. Biarlah kita hidup dari gajiku dulu,” bujuk
istrinya.
Badrowi amat
menyayangi istrinya. Apalagi istrinya tengah mengandung anak kedua. Badrowi tak
sanggup menolak keinginan sang istri. Maka, Badrowi mengalah dan tinggal di
rumah. Badrowi belajar memasak, mencuci, membereskan rumah, dan mengurus anak.
Ketika anak kedua lahir, Badrowi telah mahir. Segera saja, predikat Bapak
Teladan melekat padanya. Para tetangga yang menjulukinya. Tapi Badrowi tahu
pasti tabiat tetangganya. Di depan wajahnya orang-orang itu memuji, di belakang
punggungnya, mereka menyebut Badrowi banci.
Badrowi
mulai terusik. Dia merasa menjadi lelaki yang tidak sempurna. Lelaki yang bukan
lelaki. Lelaki yang tak sanggup menafkahi istri. Lelaki yang seperti benalu,
menggantungkan hidup dari gaji istri. Di dalam rumahnya tidak ada ibu rumah
tangga, yang ada adalah dirinya, bapak rumah tangga!
Hidup
Badrowi mulai limbung. Dan hidupnya hancur ketika didapatinya istrinya berubah.
Cinta istrinya tak lagi utuh. Tak lama berselang, istrinya hamil lagi. Badrowi
tak punya bukti, tapi Badrowi tahu kalau itu bukan benihnya. Akhirnya bayi
mungil berwajah Tionghoa itu lahir. Sejak itulah, Badrowi kehilangan semangat
hidup dan memvonis dirinya untuk mati!
***
BADROWI
merasa tubuhnya seringan kapas. Sebentar kemudian, rasa berat seperti sebongkah
batu menghimpit kakinya, terus naik ke perut dan menghimpit ulu hati. Kepalanya
berdenyut hendak meledak. Napasnya panas. Sesuatu ditangkupkan menutup hidung
dan mulutnya. Sejenak rasa sejuk menerpa, tapi panas gurun dalam sekejap datang
kembali.
Badrowi
ingin sekali membuka mata, tapi seolah ada baja yang mengganjal matanya. Bulir-bulir
dingin menyusup pori-pori. Seleret cahaya putih berkelebatan.
“Dia sadar…
dia sadar… lihat! Matanya sedikit terbuka…,” seorang suster tak sadar
berteriak.
“Pak… Pak…
ini aku! Pak… sadar….” Itu suara istri Badrowi.
“Ini kuasa
Tuhan. Beliau telah empat minggu mengalami koma, tapi mampu bertahan…,” timpal
Dokter yang tergopoh datang.
Di samping
tempat tidur rumah sakit, istri Badrowi menangis tersedu-sedu.
Badrowi
mengerjap. Pelan, air matanya mengalir. Semua yang terjadi ini, sungguh di luar
rencana Badrowi. Badrowi memang ingin mati. Tapi Badrowi sama sekali tidak
ingin melakukan usaha untuk mati di kamar mandi. Badrowi memang ingin mati.
Tapi, bukannya setengah mati seperti ini!
Badrowi
merasa menjadi pesakitan. Hidupnya mengambang di antara hidup dan mati. Tubuh
Badrowi lumpuh seluruhnya, hanya matanya saja yang bisa digerakkan. Itu pun
hanya membuka, menutup dan melirik. Hidup Badrowi sepenuhnya bergantung pada
peralatan medis.
“Pak…
maafkan aku, Pak…,” tangis istrinya pelan.
Dulu,
Badrowi hanya membisu bila istrinya berucap seperti itu. Badrowi mengunci hati.
Kata maaf di penjaranya rapat-rapat di dalam amarah. Dijaganya jangan sampai
keluar dari mulutnya. Kini Badrowi ingin menjawab, namun lidahnya seolah
terikat. Badrowi ingin mengatakan kalau hatinya telah memaafkan! Tapi… Badrowi
tak mampu bicara.
Dalam
keterasingannya dari dirinya sendiri, Badrowi terpaksa mengakui bahwa kuasa
Tuhan lebih berhasil daripada rencananya. Hatinya menyalahkannya kenapa dulu
tak memaafkan saja ketika istrinya berkali-kali minta maaf. Dulu hatinya beku
ketika Istrinya berkali-kali menangis sambil bersimpuh di kakinya. Kini,
keadaan menjadi terbalik. Hati Badrowi telah lunak, tetapi tubuh dan lidahnya
yang kaku. Sekarang, jika nasi telah menjadi bubur seperti ini, semuanya
berduka. Dan hanya setan yang tertawa terpingkal-pingkal. Menyaksikan kebodohan
manusia mudah terjebak amarah dan merasa mampu menggenggam takdir.
1.Sudut pandang = orang ke-3.
2.pola alur = 1.pengenalan tokoh di paragraf ke-1.
2.pemunculan masalah di paragraf 1 – 3.
3.konflik menegang di paragraf ke-14.
4.klimak pada saat Badrowi terbentur dan kepalanya bercucuran darah.
5.konflik mereda pada saat
dia sadar setelah koma selama 4 minggu.